Sikap Rakyat Atas Pemberontakan Terhadap Pemimpin Dzalim
Assalamu’alaikum, Wr. Wb.
Ketika seorang pemimpin negara tergolong zhalim, lalu ada pihak atau kelompok yang memberontak kepadanya, maka:
1. Bagaimanakah semestinya sikap kita (selaku rakyat) terhadap pemimpin tersebut, apakah wajib membelanya, menolongnya dari pemberontakan tersebut atau malah haram?
2. Benarkah Imam Malik melarang menolong pemimpin tersebut?
Mohon penjelasannya, syukron...
--------------------------
JAWABAN :
Wa’alaikumussalam, Wr. Wb.
Bismillahirrahmanirrahim,
Kata “Zhalim” secara bahasa adalah meletakkan sesuatu pada selain tempatnya, dan berartikan kekejaman, melewati batas dan melenceng dari tujuan. Kemudian kata ini banyak digunakan sehingga setiap tindakan kesewenang-wenangan disebut dengan zhalim.
Adapun hukum perbuatan zhalim ini adalah haram, baik berdasarkan Al-Qur`an ataupun Al-Hadits, yang di antara dalil yang menunjukkan atas keharamannya ialah firman Allah:
ﺇِﻥَّ ﭐﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻛَﻔَﺮُﻭﺍْ ﻭَﻇَﻠَﻤُﻮﺍْ ﻟَﻢۡ ﻳَﻜُﻦِ ﭐﻟﻠَّﻪُ ﻟِﻴَﻐۡﻔِﺮَ ﻟَﻬُﻢۡ ﻭَﻟَﺎ ﻟِﻴَﻬۡﺪِﻳَﻬُﻢۡ ﻃَﺮِﻳﻘًﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﻃَﺮِﻳﻖَ ﺟَﻬَﻨَّﻢَ ﺧَٰﻠِﺪِﻳﻦَ ﻓِﻴﻬَﺎٓ ﺃَﺑَﺪٗﺍۚ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺫَٰﻟِﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﭐﻟﻠَّﻪِ ﻳَﺴِﻴﺮٗﺍ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka, kecuali jalan ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS. An-Nisa`:168-169)
Dan kaitannya dengan perihal kepemimpinan, bahwa pemimpin yang zhalim itu tidak bisa dipecat/dilengserkan atau kepemimpinannya tidak dapat dibubarkan dengan sebab kefasikan berdasarkan qaul yang shahih, terlebih sebab kezhaliman, sehingga untuk tetap taat kepadanya merupakan suatu keharusan, sebagaimana keterangan dari para ulama yang di antaranya:
Imam Al-Nawawi berkata: “Wajib mentaati pemimpin di dalam perintah dan larangannya selama tidak berselisih dengan hukum syari’at, baik dia (pemimpin) adil ataupun orang yang sewenang-wenang (zhalim) --- sampai pada keterangan --- Dalam bab Wasiat telah berlalu bahwa seorang pemimpin itu tidak dapat dilengserkan dengan sebab kefasikan berdasarkan pendapat yang shahih”.
Beliau juga memberikan penjelasan, bahwa para ulama berkata: “Dan sebab tidak terpecatnya dan keharaman keluar (dengan melakukan aksi, pen.) terhadapnya yaitu lahirnya dampak yang dapat ditimbulkan seperti fitnah, pertumpahan darah dan rusaknya perdamaian. Maka mafsadah (kerusakan; dampak negatif, pen.) dalam pelengserannya itu lebih besar dari pada membiarkannya tetap berkuasa”.
Imam Al-Munawi dalam kitabnya mengemukakan sebuah hadits,
ﺳَﻴَﻠِﻲْ ﺃُﻣُﻮْﺭَﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِﻱْ ﺭِﺟَﺎﻝٌ ﻳُﻌَﺮِّﻓُﻮْﻧَﻚُﻡْ ﻣَﺎ ﺗُﻨْﻜِﺮُﻭْﻥَ ﻭَﻳُﻨْﻜِﺮُﻭْﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻣَﺎ ﺗَﻌْﺮِﻓُﻮْﻥَ ﻓَﻤَﻦْ ﺃَﺩْﺭَﻙَ ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻓَﻠَﺎ ﻃَﺎﻋَﺔَ ﻟِﻤَﻦْ ﻋَﺼَﻰ ﺍﻟﻠﻪَ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ
Artinya: “Setelah Aku tiada akan ada orang-orang yang mengurusi berbagai urusan kalian, yang akan memperkenalkan pada kalian mengenai sesuatu yang kalian inkari dan menginkari kalian tentang sesuatu yang kalian ketahui. Barangsiapa dari kalian menjumpai hal demikian maka tiada ketaatan bagi orang yang durhaka kepada Allah –‘azza wa jalla–”.
Dan beliau memberikan keterangan mengenai hadits tersebut, bahwa seorang pemimpin tidak dapat dilengserkan dengan sebab kefasikan dan kesewenang-wenangan (zhalim), dan tidak boleh keluar terhadapnya, akan tetapi dia tidak boleh ditaati di dalam kemaksiatan yang diperintahkan olehnya.
Dengan demikian, menjadikan kefasikan ataupun kezhaliman seorang pemimpin sebagai alasan untuk melakukan pembangkangan atau pemberontakan merupakan alasan yang tidak dapat diterima dan tidak dapat dibenarkan berdasarkan keterangan ulama di atas, bahkan bila ada pihak-pihak yang merasa tidak puas ataupun tidak senang atas kepemimpinannya hendaknya bersabar dan melakukan upaya-upaya konstruktif yang diajukan terhadap pihak pemerintah, baik itu berupa saran atau kritik, sehingga keadaan tetap stabil dan kondusif.
Syaikh Abu Al-Husain Al-Yamani menerangkan, bahwa “Al-Qaffal berkata: Baik dia (pemimpin) adil ataupun sewenang-wenang, karena sesungguhnya orang yang keluar terhadapnya adalah seorang pembangkang, sebab seorang pemimpin itu tidak bisa dilengserkan dengan sebab tindak kesewenang-wenangan, baik pihak yang keluar terhadapnya merupakan orang yang adil ataupun sewenang-wenang, karena keluar terhadap pemimpin merupakan tindakan kesewenang-wenangan”.
Syaikh Badruddin Al-‘Ainiy memberikan keterangan mengenai hadits “Barangsiapa yang tidak merasa senang tentang sesuatu dari pemimpinnya maka hendaknya dia bersabar, karena sesungguhnya orang yang keluar dari (mentaati, pen.) pemimpin sejengkal tangan maka dia akan mati seperti matinya orang-orang jahiliyyah”, bahwa yang dimaksud dengan redaksi “hendaknya dia bersabar” ialah bersabar atas sesuatu yang tidak disukainya dan tidak keluar dari mentaatinya, karena demikian akan menyebabkan pertumbahan darah dan melahirkan fitnah, kecuali pemimpin itu menjadi kafir dan menampakkan keselisihannya dengan dakwah Islam, sehingga tiada ketaatan bagi seorang makhluk terhadapnya. Dan pada hadits ini juga terdapat indikasi bahwa seorang pemimpin itu tidak bisa dipecat dengan sebab kefasikan dan kezhaliman, dan tidak boleh melengserkannya dari kekuasaannya dengan alasan tersebut”.
Oleh sebab itulah, sebagai warga negara ketika ada golongan yang mencoba merongrong kedaulatan negara dengan cara melakukan pemberontakan terhadapnya, maka menjadi keharusan atas mereka untuk membantu sang pemimpin dalam menghalau rongrongannya, sebagaimana penjelasan Imam Al-Ramli ketika memberikan keterangan dari redaksi Al-Minhaj “Dan wajib atas pemimpin memerangi para pemberontak berdasarkan ijma’ para shahabat”, bahwa “dan wajib atas orang-orang muslim membantunya dari orang yang dekat dari mereka sehingga kekuatan mereka menjadi batal”.
Dan demikian juga sikap dari kalangan Hanabilah yang diwakili oleh Syaikh Al-Bahuti, beliau berkata: “dan wajib atas rakyatnya menolongnya untuk memerangi mereka berdasarkan firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” (An-Nisa`:59), dan berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallama– “Barangsiapa memisahi kelompoknya sejengkal tangan maka dia benar-benar telah melepaskan batasan-batasan dan hukum-hukum Islam dari lehernya”. HR. Ahmad dan Abu Dawud dari haditsnya Abu Dzarr”.
Berbeda halnya pandangan dari kalangan Malikiyyah yang memilah antara pemimpin yang adil dan yang tidak, Syaikh Ahmad Al-Dardir berkata, bahwa “Maka bagi pemimpin yang adil wajib memerangi mereka meskipun mereka memiliki alasan-alasan mengenai keluarnya mereka terhadapnya karena adanya syubhat pada diri mereka, dan wajib atas masyarakat membantunya. Adapun selain pemimpin adil maka tidaklah wajib membantunya, Imam Malik –radhiyallahu ‘anhu– berkata: ``Tinggalkanlah dia dan apa-apa yang dikehendaki darinya, Allah akan membalas dari yang zhalim dengan yang zhalim, kemudian Allah akan membalas dari keduanya``, sebagaimana halnya tidakboleh memerangi mereka karena bisa saja keluarnya mereka terhadap pemimpin itu berdasarkan kefasikan dan kesewenang-wenangannya, meskipun bagi mereka tidak boleh keluar terhadapnya”.
Sedangkan pernyataan sikap dari kalangan Hanafiyyah diwakili oleh Syaikh ‘Ala` Al-Diin Al-
Hashkafi, beliau memberikan keterangan bahwa “dan barangsiapa yang diajak oleh pemimpin untuk memerangi mereka maka wajib atasnya memenuhi panggilannya, karena taat terhadap pemimpin di dalam hal yang bukan maksiat itu wajib, lantas bagaimana bila itu dalam hal yang merupakan ketaatan? (Bada`i’), demikian bilamana dia selaku orang mampu, dan apabila tidak mampu maka tetaplah di rumahnya (Durar). Dan di dalam Al-Mubtagha dipaparkan bahwa seandainya mereka memberontak berdasarkan zhalimnya penguasa dan dia tidak menyudahinya, maka bagi masyarakat tidaklah patut membantu penguasa dan tidak juga membantu mereka”.
Dengan demikian, dari keterangan para ulama di atas melahirkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Seorang Pemimpin tidak dapat dipecat ataupun dilengserkan dengan sebab kefasikan, tindakan kesewenang-wenangan dan kezhaliman.
2. Wajib taat atau berbakti kepada pemimpin di dalam perintah dan larangannya selagi tidak berselisih dengan hukum syari’at, meskipun dia zhalim.
3. Pemberontakan dan pembangkangan terhadap pemimpin itu haram dilakukan kendati pemimpinnya zhalim.
4. Sikap rakyat terhadap pemimpin yang zhalim ketika terjadi
pemberontakan, menurut:
A. Syafi’iyyah dan Hanabilah: Wajib membantu penguasa.
B. Hanafiyyah: Apabila diundang oleh pemimpin untuk memerangi pemberontak maka wajib selagi memiliki kemampuan. Dan apabila pemberontakan yang dilakukan itu berdasarkan kezhalimannya yang tidak berkesudahan maka tidak usah dibantu dan tidak juga membantu pemberontak.
C. Malikiyyah: Apabila pemimpinnya adil maka wajib membantunya, dan apabila tidak adil maka tidak wajib membantunya.
CATATAN:
Tidak semua jenis perlawanan terhadap pemerintah yang sah harus dikategorikan sebagai pemberontakan. Kritik, demonstrasi, misalnya, adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar yang harus dilakukan secara berjenjang dan mempertimbangkan posisi, yakni apabila sebagai seseorang yang memiliki kekuasaan maka hendaknya mengubah keadaan dengan kekuasaannya. Apabila hanya mampu dengan lisan maka perbaikan dilakukan dengan lisan, dan bila hanya mampu dengan doa maka berdoalah agar Allah memberikan petunjuk bagi pihak-pihak yang dianggap tidak amanah. Sebab untuk bisa dikategorikan sebagai Bughat (pemberontak) menurut fiqih haruslah memenuhi tiga syarat: Pertama, para pemberontak memiliki kekuatan yang meliputi senjata, logistik, massa, wacana dan sejenisnya. Kedua, mereka keluar dari ketaatan terhadap penguasa yang sah. Ketiga, mereka menggunakan penafsiran tertentu atau ta`wil yang bathil untuk membenarkannya, yang bila diuji tidak memiliki validitas yang tepat dan berdampak terjadinya kekacauan dan selainnya.
Wallahu A’lam Bishshawab.
REFERENSI :
1. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz XXIX, Hal. 169-170 (Maktabah Syamilah Apk.)
2. Raudhah Al-Thalibin Wa ‘Umdah Al-Muftin, Juz X, Hal. 47-48 (Maktabah Syamilah Apk.)
3. Al-Fiqhu Al-Manhaji ‘Ala Madzhab Al-Imam Al-Syafi’i, Juz VIII, Hal. 276 (Maktabah Syamilah Apk.)
4. Syarh Al-Nawawi ‘Ala Muslim, Juz XII, Hal. 229 (Maktabah Syamilah Apk.)
5. Faidh Al-Qadir, Juz IV, Hal. 175 (Maktabah Syamilah Apk.)
6. Al-Bayan Fi Madzhab Al-Imam Al-Syafi’i, Juz XII, Hal. 18 (Maktabah Syamilah Apk.)
7. ‘Umdah Al-Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, Juz XXIV, Hal. 178 (Maktabah Syamilah Apk.)
8. Nihayah Al-Muhtaj Ila Syarh Al-Minhaj, Juz VII, Hal. 405 (Maktabah Syamilah Apk.)
9. Kasysyaf Al-Qina’, Juz VI, Hal. 162 (Maktabah Syamilah Apk.)
10. Al-Syarh Al-Kabir, Juz IV, Hal. 299 (Maktabah Syamilah Apk.)
11. Al-Durru Al-Mukhtar, Juz IV, Hal. 264-265 (Maktabah Syamilah Apk.)
ﺍﻟﻤﻮﺳﻮﻋﺔ ﺍﻟﻔﻘﻬﻴﺔ ﺍﻟﻜﻮﻳﺘﻴﺔ ﺝ 29 ﺹ 170-169 ﺍﻟﻤﻜﺘﺒﺔ ﺍﻟﺸﺎﻣﻠﺔ
ﻇُﻠْﻢٌ، ﺍﻟﺘَّﻌْﺮِﻳﻒُ : 1 - ﺃَﺻْﻞ ﺍﻟﻈُّﻠْﻢِ ﻓِﻲ ﺍﻟﻠُّﻐَﺔِ : ﻭَﺿْﻊُ ﺍﻟﺸَّﻲْﺀِ ﻓِﻲ ﻏَﻴْﺮِ ﻣَﻮْﺿِﻌِﻪِ، ﻭَﺍﻟْﺠَﻮْﺭُ ﻭَﻣُﺠَﺎﻭَﺯَﺓُ ﺍﻟْﺤَﺪِّ ﻭَﺍﻟْﻤَﻴْﻞ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻘَﺼْﺪِ، ﺛُﻢَّ ﻛَﺜُﺮَ ﺍﺳْﺘِﻌْﻤَﺎﻟُﻪُ ﺣَﺘَّﻰ ﺳُﻤِّﻲَ ﻛُﻞ ﻋَﺴْﻒٍ ﻇُﻠْﻤًﺎ . ﻭَﻻَ ﻳَﺨْﺮُﺝُ ﻓِﻲ ﺍﻻِﺻْﻄِﻼَﺡِ ﻋَﻦْ ﻣَﻌْﻨَﺎﻩُ ﺍﻟﻠُّﻐَﻮِﻱِّ --- ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻗﺎﻝ --- ﺍﻟْﺤُﻜْﻢُ ﺍﻟﺘَّﻜْﻠِﻴﻔِﻲُّ : 4 - ﺍﻟﻈُّﻠْﻢُ ﻣُﺤَﺮَّﻡٌ، ﺩَﻝ ﻋَﻠَﻰ ﺣُﺮْﻣَﺘِﻪِ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏُ ﻭَﺍﻟﺴُّﻨَّﺔُ ﻭَﺍﻹْﺟْﻤَﺎﻉُ . ﺃَﻣَّﺎ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏُ ﻓَﻤِﻨْﻪُ ﻗَﻮْﻟﻪ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ : } ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻛَﻔَﺮُﻭﺍ ﻭَﻇَﻠَﻤُﻮﺍ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦِ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟِﻴَﻐْﻔِﺮَ ﻟَﻬُﻢْ ﻭَﻻَ ﻟِﻴَﻬْﺪِﻳَﻬُﻢْ ﻃَﺮِﻳﻘًﺎ ﺇِﻻَّ ﻃَﺮِﻳﻖَ ﺟَﻬَﻨَّﻢَ ﺧَﺎﻟِﺪِﻳﻦَ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺃَﺑَﺪًﺍ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺫَﻟِﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻳَﺴِﻴﺮًﺍ ...{ ﺇﻝﺥ . ﺇﻫـ
ﺭﻭﺿﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ ﻭﻋﻤﺪﺓ ﺍﻟﻤﻔﺘﻴﻦ ﺝ 10 ﺹ 48-47 ﺍﻟﻤﻜﺘﺒﺔ ﺍﻟﺸﺎﻣﻠﺔ
ﺍﻟْﻔَﺼْﻞُ ﺍﻟﺜَّﺎﻟِﺚُ ﻓِﻲ ﺃَﺣْﻜَﺎﻡِ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡِ ﻭَﻓِﻴﻪِ ﻣَﺴَﺎﺋِﻞُ : ﺇِﺣْﺪَﺍﻫَﺎ : ﺗَﺠِﺐُ ﻃَﺎﻋَﺔُ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡِ ﻓِﻲ ﺃَﻣْﺮِﻩِ ﻭَﻧَﻬْﻴِﻪِ ﻣَﺎﻟَﻢْ ﻳُﺨَﺎﻟِﻒْ ﺣُﻜْﻢَ ﺍﻟﺸَّﺮْﻉِ، ﺳَﻮَﺍﺀٌ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﺎﺩِﻟًﺎ ﺃَﻭْ ﺟَﺎﺋِﺮًﺍ --- ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻗﺎﻝ --- ﺍﻟْﺨَﺎﻣِﺴَﺔُ : ﺳَﺒَﻖَ ﻓِﻲ ﺑَﺎﺏِ ﺍﻟْﺄَﻭْﺻِﻴَﺎﺀِ ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡَ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻌَﺰِﻝُ ﺑِﺎﻟْﻔِﺴْﻖِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺼَّﺤِﻴﺢِ . ﺇﻫـ
ﺍﻟﻔﻘﻪ ﺍﻟﻤﻨﻬﺠﻲ ﻋﻠﻰ ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺝ 8 ﺹ 276 ﺍﻟﻤﻜﺘﺒﺔ ﺍﻟﺸﺎﻣﻠﺔ
ﺃﻣﺎ ﻣﻮﺟﺒﺎﺕ ﺍﻟﻔﺴﻖ، ﺳﻮﺍﺀ ﺑﺎﺭﺗﻜﺎﺏ ﺍﻟﻤﺤﻈﻮﺭﺍﺕ، ﺃﻭ ﺑﺎﻋﺘﻨﺎﻕ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﺒﺪﻉ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻤﻜﻔﺮﺓ، ﻓﻼ ﻳﺴﺘﻮﺟﺐ ﺍﻟﻌﺰﻝ . ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻓﻲ ﺷﺮﺣﻪ ﻋﻠﻰ ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ : ( ﺃﺟﻤﻊ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻨﻌﺰﻝ ﺍﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﺑﺎﻟﻔﺴﻖ ) ، ﺫﻟﻚ ﻷﻥ ﺿﺮﺭ ﺍﻟﻔﺘﻨﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﻗﺪ ﺗﻨﺸﺄ ﻋﻦ ﻋﺰﻟﻪ ﻳﻔﻮﻕ ﻓﻲ ﺍﻟﻐﺎﻟﺐ ﺿﺮﺭ ﺑﻘﺎﺋﻪ ﻣﺘﻠﺒﺴﺎً ﺑﺎﻟﻔﺴﻖ . ﻓﻘﺪ ﻋﻠﻤﺖ ﺳﺎﺑﻘﺎً ﺃﻥ ﺍﻹﻣﺎﻣﺔ ﻻ ﺗﻨﻌﻘﺪ ﻟﻔﺎﺳﻖ ﺍﺑﺘﺪﺍﺀً، ﻓﺄﻣﺎ ﺍﻟﻔﺴﻖ ﺍﻟﻄﺎﺭﺉ ﺑﻌﺪ ﺍﻧﻌﻘﺎﺩ ﺍﻹﻣﺎﻣﺔ، ﻓﻼ ﻧﻌﺰﻝ ﺑﻪ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻟﻤﺎ ﻗﺪ ﻋﻠﻤﺖ . ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻔﺴﻖ ﻣﻨﻪ ﻣﻌﺼﻴﺔ ﻭﺣﺮﺍﻣﺎً . ﺇﻫـ
ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻋﻠﻰ ﻣﺴﻠﻢ ﺝ 12 ﺹ 229 ﺍﻟﻤﻜﺘﺒﺔ ﺍﻟﺸﺎﻣﻠﺔ
ﻭَﺃَﺟْﻤَﻊَ ﺃَﻫْﻞُ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ ﺃَﻧَّﻪُ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻌَﺰِﻝُ ﺍﻟﺴُّﻠْﻄَﺎﻥُ ﺑِﺎﻟْﻔِﺴْﻖِ، ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﺍﻟْﻮَﺟْﻪُ ﺍﻟْﻤَﺬْﻛُﻮﺭُ ﻓِﻲ ﻛُﺘُﺐِ ﺍﻟْﻔِﻘْﻪِ ﻟِﺒَﻌْﺾِ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑِﻨَﺎ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳَﻨْﻌَﺰِﻝُ، ﻭَﺣُﻜِﻲَ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤُﻌْﺘَﺰِﻟَﺔِ ﺃَﻳْﻀًﺎ ﻓَﻐَﻠَﻂٌ ﻣِﻦْ ﻗَﺎﺋِﻠِﻪِ ﻣُﺨَﺎﻟِﻒٌ ﻟِﻠْﺈِﺟْﻤَﺎﻉِ . ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀُ ﻭَﺳَﺒَﺐُ ﻋَﺪَﻡِ ﺍﻧْﻌِﺰَﺍﻟِﻪِ ﻭَﺗَﺤْﺮِﻳﻢِ ﺍﻟْﺨُﺮُﻭﺝِ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻣَﺎ ﻳَﺘَﺮَﺗَّﺐُ ﻋَﻠَﻰ ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻔِﺘَﻦِ ﻭَﺇِﺭَﺍﻗَﺔِ ﺍﻟﺪِّﻣَﺎﺀِ ﻭَﻓَﺴَﺎﺩِ ﺫَﺍﺕِ ﺍﻟْﺒَﻴْﻦِ ﻓَﺘَﻜُﻮﻥُ ﺍﻟْﻤَﻔْﺴَﺪَﺓُ ﻓِﻲ ﻋَﺰْﻟِﻪِ ﺃَﻛْﺜَﺮَ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺑَﻘَﺎﺋِﻪِ . ﺇﻫـ
ﻓﻴﺾ ﺍﻟﻘﺪﻳﺮ ﻟﻠﻤﻨﺎﻭﻱ ﺝ 4 ﺹ 175 ﺍﻟﻤﻜﺘﺒﺔ ﺍﻟﺸﺎﻣﻠﺔ
4785 - ( ﺳﻴﻠﻲ ﺃﻣﻮﺭﻛﻢ ﻣﻦ ﺑﻌﺪﻱ ﺭﺟﺎﻝ ﻳﻌﺮﻓﻮﻧﻜﻢ ﻣﺎ ﺗﻨﻜﺮﻭﻥ ﻭﻳﻨﻜﺮﻭﻥ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻣﺎ ﺗﻌﺮﻓﻮﻥ ﻓﻤﻦ ﺃﺩﺭﻙ ﺫﻟﻚ ﻣﻨﻜﻢ ﻓﻼ ﻃﺎﻋﺔ ﻟﻤﻦ ﻋﺼﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ) ﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺮﺩﻭﺱ : ﻭﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﺍﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﻳﻄﻔﺌﻮﻥ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﻳﻌﻤﻠﻮﻥ ﺑﺎﻟﺒﺪﻉ ﻭﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻭﻣﺎ ﻗﺒﻠﻪ ﺇﻳﺬﺍﻥ ﺑﺄﻥ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻻ ﻳﻨﻌﺰﻝ ﺑﺎﻟﻔﺴﻖ ﻭﻻ ﺑﺎﻟﺠﻮﺭ ﻭﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﺬﻟﻚ ﻟﻜﻨﻪ ﻻ ﻳﻄﺎﻉ ﻓﻴﻤﺎ ﺃﻣﺮ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻌﺎﺻﻲ . ﺇﻫـ
ﺍﻟﺒﻴﺎﻥ ﻓﻲ ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺝ 12 ﺹ 18 ﺍﻟﻤﻜﺘﺒﺔ ﺍﻟﺸﺎﻣﻠﺔ
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﻔﺎﻝ : ﻭﺳﻮﺍﺀ ﻛﺎﻥ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻋﺎﺩﻻ ﺃﻭ ﺟﺎﺋﺮﺍ .. ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺨﺎﺭﺝ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﺎﻍ، ﺇﺫ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻻ ﻳﻨﻌﺰﻝ ﺑﺎﻟﺠﻮﺭ، ﻭﺳﻮﺍﺀ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺨﺎﺭﺝ ﻋﻠﻴﻪ ﻋﺎﺩﻻ ﺃﻭ ﺟﺎﺋﺮﺍ .. ﻓﺈﻥ ﺧﺮﻭﺟﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺟﻮﺭ . ﺇﻫـ
ﻋﻤﺪﺓ ﺍﻟﻘﺎﺭﻱ ﺷﺮﺡ ﺻﺤﻴﺢ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﺝ 24 ﺹ 178 ﺍﻟﻤﻜﺘﺒﺔ ﺍﻟﺸﺎﻣﻠﺔ
7053 - ﺣﺪّﺛﻨﺎ ﻣُﺴَﺪَّﺩٌ ﻋﻦْ ﻋﺒْﺪِ ﺍﻟﻮَﺍﺭِﺙِ، ﻋﻦِ ﺍﻟﺠَﻌْﺪِ، ﻋﻦْ ﺃﺑﻲ ﺭﺟﺎﺀٍ، ﻋﻦِ ﺍﺑﻦِ ﻋﺒَّﺎﺱٍ ﻋﻦِ ﺍﻟﻨﺒﻲِّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳﻠﻢ ﻗَﺎﻝَ : ﻣَﻦْ ﻛَﺮِﻩَ ﻣِﻦْ ﺃﻣِﻴﺮﻩِ ﺷَﻴْﺌﺎً ﻓَﻠْﻴَﺼْﺒِﺮْ ﻓﺈﻧَّﻪ ﻣَﻦْ ﺧَﺮَﺝَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴُّﻠْﻄﺎﻥِ ﺷِﺒْﺮﺍً ﻣﺎﺕَ ﻣﻴﺘَﺔً ﺟﺎﻫِﻠﻴَّﺔً .
ﻣﻄﺎﺑﻘﺘﻪ ﻟﻠﺘَّﺮْﺟَﻤَﺔ ﺗُﺆْﺧَﺬ ﻣﻦ ﻣﻌﻨﻰ ﺍﻟﺤَﺪِﻳﺚ . ﻭَﻋﺒﺪ ﺍﻟْﻮَﺍﺭِﺙ ﻫُﻮَ ﺍﺑْﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﻭﺍﻟﺠﻌﺪ ﺑِﻔَﺘْﺢ ﺍﻟْﺠِﻴﻢ ﻭَﺳُﻜُﻮﻥ ﺍﻟْﻌﻴﻦ ﺍﻟْﻤُﻬْﻤﻠَﺔ ﻫُﻮَ ﺃَﺑُﻮ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥ ﺍﻟﺼَّﻴْﺮَﻓِﻲ، ﻭَﺃَﺑُﻮ ﺭَﺟَﺎﺀ ﺑِﺎﻟْﺠِﻴﻢ ﻋﻤﺮَﺍﻥ ﺍﻟﻌﻄﺎﺭﺩﻱ . ﻭﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚ ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺍﻟﺒُﺨَﺎﺭِﻱّ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺣْﻜَﺎﻡ ﺃَﻳْﻀﺎ ﻋَﻦ ﺳُﻠَﻴْﻤَﺎﻥ ﺑﻦ ﺣَﺮْﺏ . ﻭَﺃﺧﺮﺟﻪ ﻣُﺴﻠﻢ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﻐَﺎﺯِﻱ ﻋَﻦ ﺣﺴﻦ ﺑﻦ ﺍﻟﺮّﺑﻴﻊ ﻭَﻏَﻴﺮﻩ .
ﻗَﻮْﻟﻪ : ﻣﻦ ﺧﺮﺝ ﻣﻦ ﺍﻟﺴُّﻠْﻄَﺎﻥ ﺃَﻱ : ﻣﻦ ﻃَﺎﻋَﺘﻪ . ﻗَﻮْﻟﻪ : ﻓﻠﻴﺼﺒﺮ ﻳَﻌْﻨِﻲ ﻓﻠﻴﺼﺒﺮ ﻋﻠﻰ ﺫَﻟِﻚ ﺍﻟْﻤَﻜْﺮُﻭﻩ، ﻭَﻟَﺎ ﻳﺨﺮﺝ ﻋَﻦ ﻃَﺎﻋَﺘﻪ ﻟِﺄَﻥ ﻓِﻲ ﺫَﻟِﻚ ﺣﻘﻦ ﺍﻟﺪِّﻣَﺎﺀ ﻭﺗﺴﻜﻴﻦ ﺍﻟْﻔِﺘْﻨَﺔ ﺇﻻّ ﺃَﻥ ﻳﻜﻔﺮ ﺍﻹِﻣَﺎﻡ ﻭَﻳﻈْﻬﺮ ﺧﻼﻑ ﺩَﻋْﻮَﺓ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡ ﻓَﻠَﺎ ﻃَﺎﻋَﺔ ﻟﻤﺨﻠﻮﻕ ﻋَﻠَﻴْﻪِ . ﻭَﻓِﻴﻪ : ﺩَﻟِﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺃَﻥ ﺍﻟﺴُّﻠْﻄَﺎﻥ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻌَﺰِﻝ ﺑِﺎﻟْﻔِﺴْﻖِ ﻭَﺍﻟﻈُّﻠﻢ ﻭَﻟَﺎ ﺗﺠﻮﺯ ﻣﻨﺎﺯﻋﺘﻪ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴﻠﻄﻨﺔ ﺑﺬﻟﻚ . ﻗَﻮْﻟﻪ : ﺷﺒْﺮًﺍ ﺃَﻱ : ﻗﺪﺭ ﺷﺒﺮ ﻭَﻫُﻮَ ﻛِﻨَﺎﻳَﺔ ﻋَﻦ ﺧُﺮُﻭﺟﻪ، ﻭَﻟَﻮ ﻛَﺎﻥَ ﺑِﺄَﺩْﻧَﻰ ﺷَﻲْﺀ . ﻗَﺎﻝَ ﺑَﻌﻀﻬﻢ : ﺷﺒْﺮًﺍ ﻛِﻨَﺎﻳَﺔ ﻋَﻦ ﻣَﻌْﺼِﻴّﺔ ﺍﻟﺴُّﻠْﻄَﺎﻥ ﻭﻣﺤﺎﺭﺑﺘﻪ، ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺻَﺎﺣﺐ ﺍﻟﺘَّﻮْﺿِﻴﺢ ﺷﺒْﺮًﺍ ﻳَﻌْﻨِﻲ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻔِﺘْﻨَﺔ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﻳﻜﻮﻥ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺑﻌﺾ ﺍﻟْﻤَﻜْﺮُﻭﻩ . ﻗﻠﺖ : ﻓِﻲ ﻛﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺮﻳﻦ ﺑﻌﺪ ﻭَﺍﻟْﺄَﻭْﺟﻪ ﻣَﺎ ﺫَﻛﺮْﻧَﺎﻩُ . ﻗَﻮْﻟﻪ : ﻣَﺎﺕَ ﻣﻴﺘَﺔ ﺑِﻜَﺴْﺮ ﺍﻟْﻤِﻴﻢ ﻛﺎﻟﺠﻠﺴﺔ ﻟِﺄَﻥ ﺑَﺎﺏ ﻓﻌﻠﺔ ﺑِﺎﻟْﻜَﺴْﺮِ ﻟﻠﺤﺎﻟﺔ ﻭﺑﺎﻟﻔﺘﺢ ﻟﻠﻤﺮﺓ . ﻗَﻮْﻟﻪ : ﺟَﺎﻫِﻠِﻴَّﺔ ﺃَﻱ : ﻛﻤﻮﺕ ﺃﻫﻞ ﺍﻟْﺠَﺎﻫِﻠِﻴَّﺔ ﺣَﻴْﺚُ ﻟﻢ ﻳﻌﺮﻓﻮﺍ ﺇِﻣَﺎﻣًﺎ ﻣُﻄَﺎﻋًﺎ، ﻭَﻟَﻴْﺲَ ﺍﻟﻤُﺮَﺍﺩ ﺃَﻧﻪ ﻳَﻤُﻮﺕ ﻛَﺎﻓِﺮًﺍ ﺑﻞ ﺃَﻧﻪ ﻳَﻤُﻮﺕ ﻋَﺎﺻِﻴﺎ . ﺇﻫـ
ﻧﻬﺎﻳﺔ ﺍﻟﻤﺤﺘﺎﺝ ﺇﻟﻰ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻤﻨﻬﺎﺝ ﺝ 7 ﺹ 405 ﺍﻟﻤﻜﺘﺒﺔ ﺍﻟﺸﺎﻣﻠﺔ
ﻭَﻳَﺠِﺐُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡِ ﻗِﺘَﺎﻝُ ﺍﻟْﺒُﻐَﺎﺓِ ﻟِﺈِﺟْﻤَﺎﻉِ ﺍﻟﺼَّﺤَﺎﺑَﺔِ ﻋَﻠَﻴْﻪِ .
--------------------------
( ﻗَﻮْﻟُﻪُ : ﻭَﻳَﺠِﺐُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡِ ﻗِﺘَﺎﻝُ ﺍﻟْﺒُﻐَﺎﺓِ ) ﺃَﻱْ ﻭَﻳَﺠِﺐُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴﻦَ ﺇﻋَﺎﻧَﺘُﻪُ ﻣِﻤَّﻦْ ﻗَﺮُﺏَ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺒْﻄُﻞَ ﺷَﻮْﻛَﺘُﻬُﻢْ . ﺇﻫـ
ﻛﺸﺎﻑ ﺍﻟﻘﻨﺎﻉ ﻋﻠﻰ ﻣﺘﻦ ﺍﻹﻗﻨﺎﻉ ﺝ ٦ ﺹ ١٦٢ ﺍﻟﻤﻜﺘﺒﺔ ﺍﻟﺸﺎﻣﻠﺔ
( ﻭَ ) ﻳَﺠِﺐُ ( ﻋَﻠَﻰ ﺭَﻋِﻴَّﺘِﻪِ ﻣَﻌُﻮﻧَﺘُﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﺣَﺮْﺑِﻬِﻢْ ) ﻟِﻘَﻮْﻟِﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ : } ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝَ ﻭَﺃُﻭﻟِﻲ ﺍﻷَﻣْﺮِ ﻣِﻨْﻜُﻢْ { [ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ : ٥٩ ] ﻭَﻟِﻘَﻮْﻟِﻪِ - ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ :- « ﻣَﻦْ ﻓَﺎﺭَﻕَ ﺍﻟْﺠَﻤَﺎﻋَﺔَ ﺷِﺒْﺮًﺍ ﻓَﻘَﺪْ ﺧَﻠَﻊَ ﺭِﺑْﻘَﺔَ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ ﻣِﻦْ ﻋُﻨُﻘِﻪِ » ﺭَﻭَﺍﻩُ ﺃَﺣْﻤَﺪُ ﻭَﺃَﺑُﻮ ﺩَﺍﻭُﺩ ﻣِﻦْ ﺣَﺪِﻳﺚِ ﺃَﺑِﻲ ﺫَﺭٍّ . ﺇﻫـ
ﺍﻟﺸﺮﺡ ﺍﻟﻜﺒﻴﺮ ﻟﻠﺸﻴﺦ ﺍﻟﺪﺭﺩﻳﺮ ﺝ ٤ ﺹ ٢٩٩ ﺍﻟﻤﻜﺘﺒﺔ ﺍﻟﺸﺎﻣﻠﺔ
( ﻓَﻠِﻠْﻌَﺪْﻝِ ﻗِﺘَﺎﻟُﻬُﻢْ، ﻭَﺇِﻥْ ﺗَﺄَﻭَّﻟُﻮﺍ ) ﺍﻟْﺨُﺮُﻭﺝَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻟِﺸُﺒْﻬَﺔٍ ﻗَﺎﻣَﺖْ ﻋِﻨْﺪَﻫُﻢْ ﻭَﻳَﺠِﺐُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻣُﻌَﺎﻭَﻧَﺘُﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﻏَﻴْﺮُ ﺍﻟْﻌَﺪْﻝِ ﻓَﻠَﺎ ﺗَﺠِﺐُ ﻣُﻌَﺎﻭَﻧَﺘُﻪُ ﻗَﺎﻝَ ﻣَﺎﻟِﻚٌ - ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻪُ - ﺩَﻋْﻪُ ﻭَﻣَﺎ ﻳُﺮَﺍﺩُ ﻣِﻨْﻪُ ﻳَﻨْﺘَﻘِﻢُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣِﻦْ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻢِ ﺑِﻈَﺎﻟِﻢٍ، ﺛُﻢَّ ﻳَﻨْﺘَﻘِﻢُ ﻣِﻦْ ﻛِﻠَﻴْﻬِﻤَﺎ ﻛَﻤَﺎ ﺃَﻧَّﻪُ ﻟَﺎ ﻳَﺠُﻮﺯُ ﻗِﺘَﺎﻟُﻬُﻢْ ﻟِﺎﺣْﺘِﻤَﺎﻝِ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﺧُﺮُﻭﺟُﻬُﻢْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻟِﻔِﺴْﻘِﻪِ ﻭَﺟَﻮْﺭِﻩِ، ﻭَﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﺎ ﻳَﺠُﻮﺯُ ﻟَﻬُﻢْ ﺍﻟْﺨُﺮُﻭﺝُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ . ﺇﻫـ
ﺍﻟﺪﺭ ﺍﻟﻤﺨﺘﺎﺭ ﺝ ٤ ﺹ ٢٦٤ - ٢٦٥ ﺍﻟﻤﻜﺘﺒﺔ ﺍﻟﺸﺎﻣﻠﺔ
( ﻭَﻣَﻦْ ﺩَﻋَﺎﻩُ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡُ ﺇﻟَﻰ ﺫَﻟِﻚَ ) ﺃَﻱْ ﻗِﺘَﺎﻟِﻬِﻢْ ( ﺍُﻓْﺘُﺮِﺽَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺇﺟَﺎﺑَﺘُﻪُ ) ﻟِﺄَﻥَّ ﻃَﺎﻋَﺔَ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡِ ﻓِﻴﻤَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﺑِﻤَﻌْﺼِﻴَﺔٍ ﻓَﺮْﺽٌ ﻓَﻜَﻴْﻒَ ﻓِﻴﻤَﺎ ﻫُﻮَ ﻃَﺎﻋَﺔُ ﺑَﺪَﺍﺋِﻊُ ( ﻟَﻮْ ﻗَﺎﺩِﺭًﺍ ) - ﻭَﺇِﻟَّﺎ ﻟَﺰِﻡَ ﺑَﻴْﺘَﻪُ ﺩُﺭَﺭٌ . ﻭَﻓِﻲ ﺍﻟْﻤُﺒْﺘَﻐَﻰ ﻟَﻮْ ﺑَﻐَﻮْﺍ ﻟِﺄَﺟَﻞِ ﻇُﻠْﻢِ ﺍﻟﺴُّﻠْﻄَﺎﻥِ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﻤْﺘَﻨِﻊُ ﻋَﻨْﻪُ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﺒَﻐِﻲ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻣُﻌَﺎﻭَﻧَﺔُ ﺍﻟﺴُّﻠْﻄَﺎﻥِ ﻭَﻟَﺎ ﻣُﻌَﺎﻭَﻧَﺘُﻬُﻢْ . ﺇﻫـ
Komentar
Posting Komentar